Bintang Bersinar
Di Lingkar Kelingking
Bintang enggan menyapa
Bulan enggan
berseri
Surya enggan membuka mata
Pelangi mulai menepi
“Dim besok habis
shalat maghrib temanin aku ke MATOS ya?” Fira memanggil Silvi dari kamarnya.”
“Belanja ya Non,
wah mantab”Silvi bergegas menyahut.
“Nanti pasti aku
ceritakan” keceriaan itu perpancar dari
raut muka Fira.
Aku tahu bahwa
nanti Fira akan bertemu dengan seorang pria. Pria yang biasa ia ceritakan saat
ia menulis Diary. Yang Fira tahu, pria itu menjalankan tugas negara. Sempat ia
bingung saat ia menanyakan identitasnya. Memang sih, Fira tak menyukai orang
yang sukanya berbelit-belit. Hingga saat Chandra menelphonnya temannya yang satu kamar di kos menyambung
untuk menanyakan identitasnya. Agak sulit memang, Fira merasa Chandra
menyembunyikan identitas dirinya. Ia takkan menanyakan berulang kali jika
pertanyaan yang ditujukan itu tidak dijawab bahkan direspon dengan baik.
Pikirnya, “Jika
aku menanyakan berulang-ulang kesannya seperti mengintograsi, tidak sopan Vi. Pasti
dia akan mengira jika aku mengetahui semua status dan identitasnya seolah-olah
aku ngebet padanya. Emoh (tidak) ah...memangnya
aku ini cewek apaan coba.”
Silvi selalu
menengahi apa yang dikatakan Fira yang menurutnya kurang tegas dan terlalu
gengsi menanyakan kejelasan identitas itu. Silvi menuntun dan berusaha membantu
Fira untuk mengorek identitas Chandra. Sontak Fira ikut bergabung ngobrol
dengan Chandra. Saat Fira menanyakan apa yang diobrolkan mereka.
Silvi
mengatakan, “ Chandra anak Sidoadjo dan bekerja di Kodan Brawijaya”
Fira sontak
kaget, “What? Dia lho bilang anak Surabaya, piye(bagaimana)
sih?”
Fira merasa ragu
dan malas dengan ketidak jelasan itu. jika ia bertanya pada Mas Rifky atau lihat di Facebooknya tentunya sudah cukup, cara
itu alangkah lebih baik untuk mengetahui seluk beluk latar belakang Chandra
ketimbang berbelit-belit. Silvi berbeda presepsi dengan Fira, menurutnya jika
ia menanyakan langsung pada Chandra alangkah lebih baik, hal itu tentunya
membuka kejelasan yang terselubung pada sosok Chandra. Fira mengenal Chandra memang dari Rifky. Saat
Rifky mendapat tugas di Bandung. Rifky memberikan nomor telefon Fira. Rifky
memang baik pada Fira, dulu mereka berdua sempat saling mencintai. Akan tetapi
Rifky dijodohkan sejak kecil oleh orang tuanya. Jadi Rifky meninggalkan Fira.
Saat itu Rifky memberikan nomor Fira dua minggu sebelum ia menikah. Menurut
Rifky Chandra adalah sosok yang baik, juga menjalankan tugas negara, dia
memiliki tinggi 170 lebih. Tentunya dengan penjelasan Rifky Fira percaya
Chandra itu orangnya baik sepertia apa yang dikatakanRifky. Mungkin Rifky akan
memperkenalkan Fira pada orang yang baik, tentunya tidak mungkin Rifky
memperkenalkan Fira dengan orang yang sembarangan. Apalagi Rifky juga alumni
murid dari Ayah Fira sewaktu SMP, itupun Rifky mengenal ayah Fira dan kakaknya
Rifky adalah murid kesayangan ayah Fira sewaktu SMP.
***
Jika Fira
dibilang bukan anak pemberani itu salah. Hanya karena ia mengajak temannya
untuk menemui Chandra tentunya itu tidak bisa dikatakan Fira tak pemberani.
Fira ingin menjaga dirinya saat baru
bertemu dengan orang yang ia kenal. Tidak hanya Chandra, Rifkypun saat pertama ia
bertemu Fira ia selalu mengajak Dima menemaninya. Waktu terus berputar. Saatnya
pun tiba.
“Kak, jadi kan
ke MATOS?” dahi silvi mengkerut dengan tatapan tajam
“Tentu dong.”
Senyuman itu bak bunga mawar kian merekah
“Cie, kak Fira
tumben senyam-senyum sepertinya lagi
bahagia. Ngapain sih kak ke MATOS? biasaya Kak Fira kagak pernah suka kalau
jalan-jalan ke Mall.” Dima heran dengan sikap Fira
“Mau ketemu
dengan Mas Chandra.” Dengan jawaban
sedikit genit ditambah senyuman kebahagiaan.
“Waduh, aku
bakal jadi obat nyamuk nanti” kecemberutan diraut wajah Dima saat mengetahui
bahwa dia tidak shopping.
Trililing...bunyi tanda sms handphone Fira. Fira
cepat-cepat membacanya, aku disebelah Gramedia kamu dimana?. Jantung Fira
berdegub kencang saat membaca sms itu. sebentar lagi ia bertemu dengan Chandra.
Fira dan Dima menengok dari sudut kejauhan. Fira terkejut saat melihat seorang
pria berdiri di sebelah pintu Gramedia.
“Astaga benarkah
pria itu Chandra? Benar-benar tinggi” dalam hati Fira berbisik.
“Bagaimana jika
bersanding denganku, tidakkah aneh, sementara tinggiku 148 cm.” Fira gemetar
hebat.
“Tidak, Aku
harus menemuinya bagaimanapun juga. Resiko belakangan.”
Fira dengan
percaya diri melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Sebelum ia bertemu, Fira
memilih berputar-putar untuk menghilangkan kecemasan dipikirannya. Tak lama
kemudia Fira menghampiri. Mereka berdua bertemu. Sementara Dima meninggalkan
masuk ke sebuah aksesoris wanita. Chandra mengajak Fira makan. Fira meminta ijin
untuk mengajak Dima. Dima menolak ajakan Fira untuk makan. Fira memutuskan
untuk tidak makan malam, karena akan terasa canggung jika ia berdua dengan
Chandra memutuskan lebih baik mengajak Dima. Mereka menuju ke sebuah Cafe di
lantai dua sebelah timur. Fira memperkenalkan Dima pada Chandra. Dalam suasana
malam yang indah dengan sinaran bintang-bintang di angkasa mereka ngobrol
bersama. Saling menanyakan satu sama lain. Fira menyimak, dan mencerna apa yang
dikatakan saat itu dengan yang dikatakan padanya. Ada perbedaan yang sempat
membuat Fira agak kecewa. Ia menanyakan kenapa ia berbeda saat Chandra berkata
asli Surabaya dan Sidoarjo. Perbedaan ini membuat Fira bertanda tanya jika hal
sekecil ini saja berbeda. Bagaimana dengan pernyataan yang lainnya.
***
Liburan semester ganjil membuka
mata. Selama dua minggu Fira berada di rumah, membantu ibu dan tak kemanapun.
Minggu pertama, Dima mengirim pesan kepada Fira, kak mas Chandra akan ke
rumahku, bagaimana ini, dia sudah dalam perjalanan. Betapa terkejutnya Fira
saat ia mendapat pesan itu dari Dima. Sementara Chandra dan Fira saat itu masih
smsaan.Fira dian saja, berusaha berpikir tenang, mengelus dadanya, hingga aku
tersenggol, dan merasakan rasa sakit dihatinya.
“Positif, positif, positif.” Rara
bersikukuh untuk tidak berpikir negatif tentang mereka.
Walaupun sempat berbisik, “Ini
sepertinya Dima yang salah. Chandra tidak mungkin akan datang ke rumah Dima
kalau tidak mengijinkannya. Karena sepengetahuanku berkali-kali Chandra ingin
main ke rumakku saat aku menolak, dia juga tidak ke rumahku. Sepertinya Dima?
Ah tidak mungkin.”
Fira semakin memantapkan pikirannya
untuk tidak berpikir negatif. Yang ada dipikirannya saat itu terbayang pada
tatapan Chandra menatap Dima saat di cafe itu. sepertinya Chandra menyukai
Dima.
“Ah, Ya Allah hilangkan pikiran itu,
memang salahku jika aku selalu menolak Chandra ke rumahku ingin berkenalan
dengan orang tuaku, menolaknya saat dia mengajak keluar, dan menolaknya saat
dia mengajak ke rumahnya. Ah, bodoh... bodoh... bodoh...kalau begini nyesel kan
kau Fira.” Hati Fira semakin bergeliat-geliat tak karuan.
Langit meredup, suram, bintang
enggan bersinar. Hati Fira meredup, kaku, keras. Fira bersikokoh tuk berucap menanyakan
kegiatannya Chandra saat siang itu. Chandra menjawab bahwa dirinya habis main
di rumah temannya.
“Kenapa dia
tidak menyebutkan namanya saja siapa temannya itu, toh aku tahu dan kenal dia.”
Serasa ingin meledak hati Fira saat itu.
Entah mengapa
Fira tak rela dengan kejadian itu. untung ada Ibunya yang bersaha menenangkanku
dan menghiburnya.
Selang tiga
minggu, kring.... telephone Fira
berdering.Siapa yang menelephone Fira jam sepuluh malam begini. aku memeluk
erat telephon itu. Saat Fira menyapa dan menanyakan siapa penelphon itu. orang
itu menjawab Siwa. Siwa? Fira bertanda tanya dalam hati, apakan ini mantan
pertamanya dulu, dari segi suaranya tidak menunjukkan bahwa itu Siwa mantannya.
“Aku Siwa,
kakaknya Dima.” Suara itu seolah membangunkan di Fira dari kantuknya
“Ada apa Kak,
tumben malam-malam telephone.”
“Dek aku boleh
minta nomornya Chandra, soalnya aku mau ngasih tahu kalau nomornya Dek Silvi
ganti dan mau nyeritakan kalau dia kecopetan setelah Chandra nganterin dek
Silvi di terminal Surabaya kemarin.”
Fira tercengang.
Air matanya menetes. Dia berusaha untuk menyembunyikannya perasaan sedihnya itu
dengan ketegarannya
“Ia kak, habis
ini tak kirim nomornya, sudah dulu ya aku ngantuk.” Fira berusaha menghibur.
Aku mengerti
perasaan Fira. Saat air matanya terusap dan menyentuhku. Betapa hancur perasaan
itu. Saat itu Fira berpikir untuk mundur. Tapi pesan orangtua dan temannya
selalu terngiang membesit dipikirannya.
“Jika kau
terus-terusan menyerah dan mengalah untuk orang lain bagaimana kau bisa
mendapatkannya.Berkali-kali kau mengalah untuk orang lain apakah kau tidak
ingin mendapatkan kebahagiaan?”Aku ingat dan mengerti pesan itu. Tapi aku harus
bagaimana?”
“Fira kau jangan
terlalu baik jadi orang.” Bisikan itu selalu berjalanan di awan pikiraku.
“Aku bukannya
terlalu baik, tapi... ah sudahlah”
Fira bersikukuh
untuk melupakan Chandra. Tapi Chandra berusaha mendekati Fira dan setiap hari
tak perlah luput untuk tidak berkomunikasi. Fira semakin tersesak hati dengan
statusnya yang tak jelas itu.
“Akankah aku
melepaskannya, biarlah sudah mengalir tenang seperti genangan yang tak jelas
kederasannya ataupun kelambanannya.”
Seminggu berlalu
setelah libur semester. Chandra dan Fira memutuskan untuk pergi keluar nonton
bersama. Fira memang anaknnya cuek dan pendian. Jadi saat mengantre tiket dia
hanya berdiam dan Chandra mengantrekan tiket untukku. Membayar tiket maupun
makananku. Saat itu mereka menyaksikan pemutaran film inspirasi cinta “Ainun
Habibie”. Memang kisah cinta itu begitu menginspirasi banyak orang. Proses
inspirasi itu menyentuh hati Fira. Fira sontak tercengang saat Chandra
menggenggam erat tanggannya. Fira menoleh dan Chandra menatap dengan sorot mata
yang tajam penuh dengan makna.
Aku merasa
terikat dan sesak tak bergerak. Lingkarku yang menempel di jari kelingking fira
berputar seolah seolah kebahagiaan hadir diantara keduanya.