Selasa, 23 April 2013

Bintang Bersinar Di Lingkar Kelingking



Bintang Bersinar Di Lingkar Kelingking

Bintang enggan menyapa
Bulan  enggan berseri
Surya enggan membuka mata
Pelangi mulai menepi

“Dim besok habis shalat maghrib temanin aku ke MATOS ya?” Fira memanggil Silvi dari kamarnya.”
“Belanja ya Non, wah mantab”Silvi bergegas menyahut.
“Nanti pasti aku ceritakan”  keceriaan itu perpancar dari raut muka Fira.
Aku tahu bahwa nanti Fira akan bertemu dengan seorang pria. Pria yang biasa ia ceritakan saat ia menulis Diary. Yang Fira tahu, pria itu menjalankan tugas negara. Sempat ia bingung saat ia menanyakan identitasnya. Memang sih, Fira tak menyukai orang yang sukanya berbelit-belit. Hingga saat Chandra menelphonnya  temannya yang satu kamar di kos menyambung untuk menanyakan identitasnya. Agak sulit memang, Fira merasa Chandra menyembunyikan identitas dirinya. Ia takkan menanyakan berulang kali jika pertanyaan yang ditujukan itu tidak dijawab bahkan direspon dengan baik.
Pikirnya, “Jika aku menanyakan berulang-ulang kesannya seperti mengintograsi, tidak sopan Vi. Pasti dia akan mengira jika aku mengetahui semua status dan identitasnya seolah-olah aku ngebet padanya. Emoh (tidak) ah...memangnya aku ini cewek apaan coba.”
Silvi selalu menengahi apa yang dikatakan Fira yang menurutnya kurang tegas dan terlalu gengsi menanyakan kejelasan identitas itu. Silvi menuntun dan berusaha membantu Fira untuk mengorek identitas Chandra. Sontak Fira ikut bergabung ngobrol dengan Chandra. Saat Fira menanyakan apa yang diobrolkan mereka.
Silvi mengatakan, “ Chandra anak Sidoadjo dan bekerja di Kodan Brawijaya”
Fira sontak kaget, “What? Dia lho bilang anak Surabaya, piye(bagaimana) sih?”
Fira merasa ragu dan malas dengan ketidak jelasan itu.  jika ia bertanya pada Mas Rifky atau lihat di Facebooknya tentunya sudah cukup, cara itu alangkah lebih baik untuk mengetahui seluk beluk latar belakang Chandra ketimbang berbelit-belit. Silvi berbeda presepsi dengan Fira, menurutnya jika ia menanyakan langsung pada Chandra alangkah lebih baik, hal itu tentunya membuka kejelasan yang terselubung pada sosok Chandra.  Fira mengenal Chandra memang dari Rifky. Saat Rifky mendapat tugas di Bandung. Rifky memberikan nomor telefon Fira. Rifky memang baik pada Fira, dulu mereka berdua sempat saling mencintai. Akan tetapi Rifky dijodohkan sejak kecil oleh orang tuanya. Jadi Rifky meninggalkan Fira. Saat itu Rifky memberikan nomor Fira dua minggu sebelum ia menikah. Menurut Rifky Chandra adalah sosok yang baik, juga menjalankan tugas negara, dia memiliki tinggi 170 lebih. Tentunya dengan penjelasan Rifky Fira percaya Chandra itu orangnya baik sepertia apa yang dikatakanRifky. Mungkin Rifky akan memperkenalkan Fira pada orang yang baik, tentunya tidak mungkin Rifky memperkenalkan Fira dengan orang yang sembarangan. Apalagi Rifky juga alumni murid dari Ayah Fira sewaktu SMP, itupun Rifky mengenal ayah Fira dan kakaknya Rifky adalah murid kesayangan ayah Fira sewaktu SMP.
***
Jika Fira dibilang bukan anak pemberani itu salah. Hanya karena ia mengajak temannya untuk menemui Chandra tentunya itu tidak bisa dikatakan Fira tak pemberani. Fira ingin menjaga dirinya  saat baru bertemu dengan orang yang  ia kenal.  Tidak hanya Chandra, Rifkypun saat pertama ia bertemu Fira ia selalu mengajak Dima menemaninya. Waktu terus berputar. Saatnya pun tiba.
“Kak, jadi kan ke MATOS?” dahi silvi mengkerut dengan tatapan tajam
“Tentu dong.” Senyuman itu bak bunga mawar kian merekah
“Cie, kak Fira tumben  senyam-senyum sepertinya lagi bahagia. Ngapain sih kak ke MATOS? biasaya Kak Fira kagak pernah suka kalau jalan-jalan ke Mall.” Dima heran dengan sikap Fira
“Mau ketemu dengan Mas Chandra.”  Dengan jawaban sedikit genit ditambah senyuman kebahagiaan.
“Waduh, aku bakal jadi obat nyamuk nanti” kecemberutan diraut wajah Dima saat mengetahui bahwa dia tidak shopping.
Trililing...bunyi tanda sms handphone Fira. Fira cepat-cepat membacanya, aku disebelah Gramedia kamu dimana?. Jantung Fira berdegub kencang saat membaca sms itu. sebentar lagi ia bertemu dengan Chandra. Fira dan Dima menengok dari sudut kejauhan. Fira terkejut saat melihat seorang pria berdiri di sebelah pintu Gramedia.
“Astaga benarkah pria itu Chandra? Benar-benar tinggi” dalam hati Fira berbisik.
“Bagaimana jika bersanding denganku, tidakkah aneh, sementara tinggiku 148 cm.” Fira gemetar hebat.
“Tidak, Aku harus menemuinya bagaimanapun juga. Resiko belakangan.”
Fira dengan percaya diri melangkahkan kakinya perlahan-lahan. Sebelum ia bertemu, Fira memilih berputar-putar untuk menghilangkan kecemasan dipikirannya. Tak lama kemudia Fira menghampiri. Mereka berdua bertemu. Sementara Dima meninggalkan masuk ke sebuah aksesoris wanita. Chandra mengajak Fira makan. Fira meminta ijin untuk mengajak Dima. Dima menolak ajakan Fira untuk makan. Fira memutuskan untuk tidak makan malam, karena akan terasa canggung jika ia berdua dengan Chandra memutuskan lebih baik mengajak Dima. Mereka menuju ke sebuah Cafe di lantai dua sebelah timur. Fira memperkenalkan Dima pada Chandra. Dalam suasana malam yang indah dengan sinaran bintang-bintang di angkasa mereka ngobrol bersama. Saling menanyakan satu sama lain. Fira menyimak, dan mencerna apa yang dikatakan saat itu dengan yang dikatakan padanya. Ada perbedaan yang sempat membuat Fira agak kecewa. Ia menanyakan kenapa ia berbeda saat Chandra berkata asli Surabaya dan Sidoarjo. Perbedaan ini membuat Fira bertanda tanya jika hal sekecil ini saja berbeda. Bagaimana dengan pernyataan yang lainnya.
***
            Liburan semester ganjil membuka mata. Selama dua minggu Fira berada di rumah, membantu ibu dan tak kemanapun. Minggu pertama, Dima mengirim pesan kepada Fira, kak mas Chandra akan ke rumahku, bagaimana ini, dia sudah dalam perjalanan. Betapa terkejutnya Fira saat ia mendapat pesan itu dari Dima. Sementara Chandra dan Fira saat itu masih smsaan.Fira dian saja, berusaha berpikir tenang, mengelus dadanya, hingga aku tersenggol, dan merasakan rasa sakit dihatinya.
            “Positif, positif, positif.” Rara bersikukuh untuk tidak berpikir negatif tentang mereka.
            Walaupun sempat berbisik, “Ini sepertinya Dima yang salah. Chandra tidak mungkin akan datang ke rumah Dima kalau tidak mengijinkannya. Karena sepengetahuanku berkali-kali Chandra ingin main ke rumakku saat aku menolak, dia juga tidak ke rumahku. Sepertinya Dima? Ah tidak mungkin.”
            Fira semakin memantapkan pikirannya untuk tidak berpikir negatif. Yang ada dipikirannya saat itu terbayang pada tatapan Chandra menatap Dima saat di cafe itu. sepertinya Chandra menyukai Dima.
            “Ah, Ya Allah hilangkan pikiran itu, memang salahku jika aku selalu menolak Chandra ke rumahku ingin berkenalan dengan orang tuaku, menolaknya saat dia mengajak keluar, dan menolaknya saat dia mengajak ke rumahnya. Ah, bodoh... bodoh... bodoh...kalau begini nyesel kan kau Fira.” Hati Fira semakin bergeliat-geliat tak karuan.
            Langit meredup, suram, bintang enggan bersinar. Hati Fira meredup, kaku, keras.  Fira bersikokoh tuk berucap menanyakan kegiatannya Chandra saat siang itu. Chandra menjawab bahwa dirinya habis main di rumah temannya.
“Kenapa dia tidak menyebutkan namanya saja siapa temannya itu, toh aku tahu dan kenal dia.” Serasa ingin meledak hati Fira saat itu.
Entah mengapa Fira tak rela dengan kejadian itu. untung ada Ibunya yang bersaha menenangkanku dan menghiburnya.
Selang tiga minggu, kring.... telephone Fira berdering.Siapa yang menelephone Fira jam sepuluh malam begini. aku memeluk erat telephon itu. Saat Fira menyapa dan menanyakan siapa penelphon itu. orang itu menjawab Siwa. Siwa? Fira bertanda tanya dalam hati, apakan ini mantan pertamanya dulu, dari segi suaranya tidak menunjukkan bahwa itu Siwa mantannya.
“Aku Siwa, kakaknya Dima.” Suara itu seolah membangunkan di Fira dari kantuknya
“Ada apa Kak, tumben malam-malam telephone.”
“Dek aku boleh minta nomornya Chandra, soalnya aku mau ngasih tahu kalau nomornya Dek Silvi ganti dan mau nyeritakan kalau dia kecopetan setelah Chandra nganterin dek Silvi di terminal Surabaya kemarin.”
Fira tercengang. Air matanya menetes. Dia berusaha untuk menyembunyikannya perasaan sedihnya itu dengan ketegarannya
“Ia kak, habis ini tak kirim nomornya, sudah dulu ya aku ngantuk.” Fira berusaha menghibur.
Aku mengerti perasaan Fira. Saat air matanya terusap dan menyentuhku. Betapa hancur perasaan itu. Saat itu Fira berpikir untuk mundur. Tapi pesan orangtua dan temannya selalu terngiang membesit dipikirannya.
“Jika kau terus-terusan menyerah dan mengalah untuk orang lain bagaimana kau bisa mendapatkannya.Berkali-kali kau mengalah untuk orang lain apakah kau tidak ingin mendapatkan kebahagiaan?”Aku ingat dan mengerti pesan itu. Tapi aku harus bagaimana?”
“Fira kau jangan terlalu baik jadi orang.” Bisikan itu selalu berjalanan di awan pikiraku.
“Aku bukannya terlalu baik, tapi... ah sudahlah”
Fira bersikukuh untuk melupakan Chandra. Tapi Chandra berusaha mendekati Fira dan setiap hari tak perlah luput untuk tidak berkomunikasi. Fira semakin tersesak hati dengan statusnya yang tak jelas itu.
“Akankah aku melepaskannya, biarlah sudah mengalir tenang seperti genangan yang tak jelas kederasannya ataupun kelambanannya.”
Seminggu berlalu setelah libur semester. Chandra dan Fira memutuskan untuk pergi keluar nonton bersama. Fira memang anaknnya cuek dan pendian. Jadi saat mengantre tiket dia hanya berdiam dan Chandra mengantrekan tiket untukku. Membayar tiket maupun makananku. Saat itu mereka menyaksikan pemutaran film inspirasi cinta “Ainun Habibie”. Memang kisah cinta itu begitu menginspirasi banyak orang. Proses inspirasi itu menyentuh hati Fira. Fira sontak tercengang saat Chandra menggenggam erat tanggannya. Fira menoleh dan Chandra menatap dengan sorot mata yang tajam penuh dengan makna.
Aku merasa terikat dan sesak tak bergerak. Lingkarku yang menempel di jari kelingking fira berputar seolah seolah kebahagiaan hadir diantara keduanya.